Trematoda
A. PENGERTIAN
Cacing
trematoda banyak ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand,
Vietnam, Taiwan, India, dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di
Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, HETEROPHYIDAE di Jakarta dan Schistosoma japonicum di Sulawesi Tengah.
1. Morfologi dan Daur Hidup
Pada
umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetris
bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa
sangat beraneka ragam dari 1mm sampai kurang lebih 75mm. tanda khas
lainnya adalah terdapat 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan
batil isap perut. Beberapa special mempunyai batil isap genital. Saluran
pencernaan enyerupai huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan
berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya trematoda tidak mempunyai alat
pernapasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi
terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan
saraf dimulai dengan ganglion di bagian dorsal esophagus, kemudian
terdapat seraf yang memanjang di bagian dorsal,ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit dengan alat reproduksi yang konpleks.
Cacing
dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitive. Telur diletakkan
disaluran hati, rongga usus, paru, pembuluh darah atau di jaringan
tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau
urin. Pada umumnya telur berisi sel telur, hanya pada beberapa spesies
telur sudah mengandung mirasidium ( M ) yang mempunyai bulu getar.
Didalam air telur menetas bila sudah mengandung mirasidium ( telur
matang ). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisi sel
telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2-3 minggu.
Pada beberapa spesies tremotoda telur matang menetas bila ditelan keong (
hospes peramtara ) dan keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam keong;
atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang dalam air;
dalam waktu 24 jam mirasidium harus sudah menemukan keong air agar dapat
melanjutkan perkembangannya. Keong air di sini berfungsi sebagai hospes
perantara pertama ( HP 1 ). Dalam keong air tersebut mirasidium
berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, yang di sebut
sporokista ( S ). Spoprokista ini dapat mengandung sporokista lain atau
redia ( R );bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut, faring
dan sekum. Didalam dompet sporokista II atau redia ( R ), larva
berkembang menjadi serkaria ( SK ).
Perkembangan larva alam hospes perantara I mungkin terjadi sebagai berikut :










Serkaria
kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yang
berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu dan keong air
lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitive secara langsung
seperti pada Schitosoma. Dalam
hospes perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria yang
berbebtuk kista. Hospes definitive mendapat infeksi bila makan hospes
perantara II yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan
baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes definitive yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.
2. Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan
yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing dalam
tubuh hospes; selain itu ada juga pengaruh rangsangan setempat dan zat
toksin di keluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi
zat toksin, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala
dan lain-lain. Cacing daun yang hidup di rongga usus biasanya tidak
memberi gejala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual,
muntah, sakit perut dan diare. Bila cacing hidup dijaringan paru seperti
Paragonimus, mungkin
menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan mungkin terjadi batuk darah
(hemoptisis). Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis, dan Fasciola
dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu,
dapat menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala
ikterus. Akibat lainnya adalah peradangan hati sehigga terjadi
hepatomegali. Cacing Schistosoma yang
hidup di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan
kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi
fibrosis jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti
dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.
3. Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, dahag, urin atau dalam
jaringan biopsi, dapat pula dengan reaksi serologi untuk membantu
menegakan diagnosis. Obat yang terbaik untuk mencegah cacing daun adalah
prazikuantel (Biltricide, Distocide).
B. JENIS-JENIS TREMATODA
1. Trematoda Hati (Clonorchis sinensis)
Cacing
ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 disaluran empedu
pada seorang cina di kalkuta.hospes dari parasit ini adalah manusia,
kucing, anjing, beruang kutub dan babi. Penyakit yang disebabkan oleh
cacing ini adalah klonorkiasis. Trematoda hati banyak di temukan di
Cina, Jepang, Korea dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia
bukan infeksi autokton.
a. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing
dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang di tetemukan di saluran
pancreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih,
lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30x16 mikron,
bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, di temukan di
saluran empedu.
Telur
di keluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air. Dalam
keong air, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia lalu
sarkaria. Serkaria keluar dari air dan mencari hospes perantara II,
yaitu ikan. Setelah menembus masuk tubuh ikan serkaria melepaskan
ekornya dan membentuk kista didalam kulit dibawah sisik. Kista ini
disebut metaserkaria.
Infeksi
terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak
kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk di
dektus koledokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan
menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung
selama 3 bulan.
b. Patologi dan Gejala Klinis
Sejak
larva masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat
menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran.
Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel
hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai
asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada
jumlah cacing yang terdapat disaluran empedu dan lamanya infeksi.
Gejala
dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan
gejala. Stadum progresif ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut
terasa penuh, diare, edema dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut
didapatkan sindrum hipertensi portal yang terdiri dari pembesaran hati,
ikterus, asites, edema, sirosi hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan
keganasan dalam hati.
c. Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
ditegakan dengan menemukan telur yang berbentuk khas dalam tinja atau
dalam cairan duodenum. Penyakit ini dapat diobati dengan parazikuantel.
2. Trematoda Paru
Manusia
dan binatang yang memakan ketam/udang batu, seperti kucing, luak,
anjing, harimau, srigala dan lain-lain merupakan hospes cacing ini. Pada
manusia parasit ini menyebabkan paragonimiasis. Cacing ini banyak
ditemukan di RRC, Taiwan, Korea, Jepang, Filipina, Vietnam, Thailand,
India, Malaysia, Afrika dan Amerika Latin. Di Indonesia ditemukan
autokton pada binatang, sedangkan pada manusi hanya sebagai kasus inpor
saja.
a. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing
dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar lonjong menyerupai
biji kopi dengan ukuran 8-12 x 4-6 mm dan berwarna coklat tua. Batil
isap mulut hamper sama besa dengan batil isap perut. Testis berlobus
terletak berdampingan antara antara basil isap perut dan ekor. Ovarium
terletak di belakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong berukuran
80-118 mikron x 40-60 mikron dengan operculum agak tertekan kedalam.
Waktu keluar bersama tinja atau sputum, telurnya belum berisi
mirasidium.
Serkaria
keluardari keong air, berenang mencari hospes perantara II yaitu ketam
atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Infeksi
terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai
matang.
Dalam
hospes defenitif, metaserkaria menjadi cacing dewasa muda di duodenum.
Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga
perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan
reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista, biasanya
ditemukan 2 ekor di dalamnya.
b. Patologi dan Gejala Klinis
Karena
cacing dewasa berada dalam kista di paru, maka gejala di mulai dengan
adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk dara. Keadaan ini
disebut endemic hemoptysis.
Cacing dewasa dapat pula bermigrasi kea lat-alat lain dan menimbulkan
abses pada alat tersebut (antara lain hati, limpa, otak, otot, dinding
usus).
c. Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura.
Kadang-kadang telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat
membantu untuk menegakan diagnosis. Prazikuantel dan bitionol merupakan
obat pilihan yang baik untuk menanggulangi cacing ini.
3. Trematoda Usus
Macam-macam spesies Trematoda usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan Gastrodiscus. F. buski adalah suatu trematoda yang didapat pada manusia atau hewan yang mempunyai ukuran terbesar diantara trematoda lainnya. Cacing Hypoderaeum adalah
cacing trematoda kecil hanya kurang lebih beberapa millimeter. Manusia
menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seperti mamalia
(anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes reservoar.
a. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing F. buski
yang ditemukan pada manusia mempunyai ukuran panjang 2-7,5 cm dan lebar
0.8-2,0 cm. bentuknya agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum
ditutupi duri-duri kecil yang letaknya melintang. Cacing Hypoderaeum berukuran panjang antara 1-1.7 mm dan lebar antara 0,3-0,75 mm,keculai genus haplorcis
yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41-0,51 mm dan lebar 0,24-0,3
mm. di samping batil isap perut, ciri-ciri khas yang lain adalah batil
isap kelamin yang terdapat di sebelah kirai belakang.
Siklus
hidup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes
perantara II (keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan
H.heterophyes dan M.yokogawai).
b. Patologi dan Gejala Klinis
Patologi
penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh perlekatan
cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran
cacing maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis
tergantung jumlah parasit dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak
nyata, sedangkan pada infeksi berat gejala yang timbul adalah sakit
perut, diare, dan akibat terjadinya malabsorpsi bisa timbul edema.
c. Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Bila bentuk
telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dalam tinja
penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu
tetrakloretilen, heksilresorsinol, dan praziquantel.
4. Trematoda Darah
Pada manusia ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansomi dan Schistosoma haematobium. Selain
spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup
pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia. Hospes
definitifnya adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan
sebagai hospes reservoir. Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit
skitosomiasis atau bilharziasis.
Gambar 20. Schistosoma japonicum jantan dan betina
a. Morfologi dan Daur Hidup
Cacing
dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5
– 19.5 mm x 0.9 mm. Badannya berbentuk bundar dan pada kutikulumnya
terdapat tojolan halus sampai kasar tergantung spesiesnya. Di bagian
ventral badan terdapat Canalis gynaecophorus,
tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di
dalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan
panjang, berukuran 16,0 – 26,0 mm x 0.3 mm. Pada umumnya uterus berisi
50- 300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah
terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput
lender usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur Cacing Schistosoma mempunyai
duri dan liaklisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95
– 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh
darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau
kandung kemih untuk kemudian di dalam tinja atau urin. Telu menetas di
dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium.
Cacing
ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak
terdapat hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong
air dan berkembang menjadi sprokista I dan sporokista II dan kemudian
menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif
cacing schistosoma. Cara
infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia
masyk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk
infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini
kemudian masu ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk
ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk
ke sistim peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan
menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae
dan vena usus atau kandung kemih dan kemudian cacing betina bertelur
setelah berkopulasi.
b. Patologi dan Gejala Klinis
Perubahan-perubahan
yang terjadi disebabkan oleh 3 stdium cacing ini yaitu serkaria, cacing
dewasa dan telur. Perubahan-perubahan pada schistosomiasis dapat dapat
ibagi dalam tiga stadium:
· Masa tunas biologik
Waktu
antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas
biologic. Perubahan kulit yang timbul berupa eritema dan vapula yang
disertai perasaan gatal dan panas. Bila banyak jumlah serkaria menembus
kulit, maka akan terjadi dermatitis. Biasanya kelainan kulit hilang
dalam waktu 2 atau 3 hari
· Stadium akut
Stadium
ini dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakan di dalam
pembuluh darah dapat keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam
jaringan sekitarnya dan akhirnya dapat mencapai lumen dengan cara
menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Efek patologis maupun gejala
klinis yang disebabkan telur tergantung dari jumlah telur yang
dikeluarkan, yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing betina.
· Stadium menahun
Pada
stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan
ikat atau vibrosis. Hepar yang semula membesar karena peradangan,
kemudian mengalami pengecilan karena terjadi vibrosis, hal ini disebut
sirosis. Pada schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis
periportal, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena
adanya bendungan di dalam jaringan hati.
c. Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis
dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, urin atau jaringan biopsi.
Reaksi serologi dapat membantu menegaka diagnosis. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa obat-obat anti Schistosoma tidak ada yang aman atau agak toxik dan semuanya mempunyai resiko masing-masing.
Sperti telah diketahui cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterika manusia dan binatang. Pengaruh obat anti Schistosoma dapat
menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah dan
mengakibatkan tersapunya cacing tersebut ke dalam hati oleh sirkulasi
portal, keadaan ini disebut Hepatic shift.
Ada
beberapa obat yang mempengaruhi cacing dewasa ini menghambat sistim
enzim tertentu, seperti persenyawaan antimon trivalen yang menghambat
sistim enzim fosfofruktokinase S. mansoni, sehingga cacing tersebut tidak dapat memanfaatkan glikogen.
Gandahusada, srisasi Prof.dr. dkk (ed). Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga, 2002. balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar